Dan
bersegeralah menuju ampunan Allah yang memiliki surga yang luasnya
seluas langit dan bumi yang dijanjikan untuk orang-orang yang bertakwa,
(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang
maupun di waktu sempit, dan orang-orang yang suka menahan amarahnya dan
memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan." (QS Ali Imran [3]: 134)
Dari
Abu Hurairah, bahwasanya seorang laki-laki berkata kepada Nabi SAW,
"Berilah nasihat kepadaku." Rasulullah bersabda, "Janganlah kamu marah."
Lalu Rasulullah mengulanginya, "Janganlah kamu marah."
Demikian
pula dalam Hadis lain disebutkan, "Tidaklah seseorang dikatakan
pemberani karena cepat meluapkan amarahnya. Seorang pemberani adalah
orang yang dapat menguasai diri dan nafsunya ketika marah."
Sekuat
apapun ibadah ritual seseorang, jikalau dia pemarah, maka tetap akan
rusak imannya. Kerugian pemarah di antaranya adalah dalam pergaulan ia
tak disukai karena para pemarah itu wajahnya tampak tak menyenangkan.
Kata-katanya pun kotor dan keji. Bahkan sampai-sampai ia pun seringkali
tak sadar apa yang dikatakannya.
Kalau
seorang pemarah menjadi pemimpin maka dia tidak akan sukses sebab dia
akan diikuti bukan karena kemuliaannya, tapi karena ditakuti.
Keputusannya cenderung tak adil karena seringkali emosional. Bila
berbeda pendapat, selalu ingin memuntahkan ketidaksukaannya. Singkatnya,
pemimpin yang pemarah sebenarnya sedang menunggu waktu untuk jatuh.
Seorang
ibu yang pemarah akan menularkan budaya buruk terhadap anak-anaknya.
Keturunannya akan memiliki dua kemungkinan. Pertama, menjadi pendiam dan
beku karena stres. Kedua, menjadi kasar dan suka berontak.
Kalau
banyak guru yang pemarah, maka tak usah heran bila murid-muridnya
sering tawuran. Bisa jadi salah satu penyebabnya adalah para gurunya
kurang mampu memberikan teladan dan menyejukkan hati para muridnya.
Pendek kata, para pemarah itu akan membawa bala dan ini tak dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Lalu, bagaimana Rasulullah yang mulia menyikapi marah? Bila masalah pribadi yang dihina, maka beliau selalu memaafkan. Tetapi bila masalah agama dihina, maka beliau akan marah dan selalu siap membela.
Lalu, bagaimana Rasulullah yang mulia menyikapi marah? Bila masalah pribadi yang dihina, maka beliau selalu memaafkan. Tetapi bila masalah agama dihina, maka beliau akan marah dan selalu siap membela.
Beliau
sempat marah ketika perang Hunain berakhir karena kaum Anshar merasa
kecewa dan menganggap Rasul tidak adil. Penyebabnya adalah pembagian ghanimah
yang sebagian besar diberikan kepada kaum Muhajirin, orang-orang yang
baru masuk Islam di Mekkah, dan bukan kepada kaum Anshar.
Rasulullah
kala itu memerah mukanya sampai-sampai berkata, "Jikalau Allah dan
Rasul-Nya dianggap tak adil, maka siapa lagi yang adil. Padahal mereka
pulang dengan hanya membawa harta, sedangkan kalian pulang dengan
membawa Rasulullah." Singkat tetapi mempunyai makna mendalam dan tak
menyakiti siapapun, bahkan membangkitkan kesadaran. Rasul marah dengan
alasan dan cara yang benar, juga pada saat yang tepat, hingga hasilnya
bermanfaat.
Allah memang menciptakan manusia dengan 'software'
gembira dan cinta, juga perasaan sedih dan marah. Dengan marah kita
bisa membela keluarga, agama, atau orang-orang yang lemah. Misalnya
dalam perang melawan yang batil --emosi termasuk salah satu bagian
penting. Jika tidak, justru berbahaya karena tak bisa membela atau
membangkitkan semangat.
Pemarah
itu ada empat jenis. Pertama, orang yang cepat marahnya, tapi lambat
redanya. Kedua, orang yang lambat marahnya dan lambat pula redanya.
Ketiga, orang yang cepat marahnya dan cepat pula redanya. Keempat, orang
yang lambat marahnya, tapi cepat redanya. Tentunya kita berupaya untuk
memilih yang terakhir.
Maka dari itu tahanlah sekuat-kuatnya jikalau kita akan marah. Perbanyak istighfar, ta`awudz,
atau segera berwudhu. Jangan biarkan kita berada di tempat yang
memancing kemarahan. Kalau sudah telanjur marah sebaiknya bertobat.
Kalaupun harus marah, niatnya adalah bagaimana agar orang yang bersalah
bisa berubah menjadi lebih baik tanpa terlukai, tanpa kita berbuat
zalim.
Kemudian
janganlah sekali-kali menyikapi orang yang sedang marah dengan
kemarahan lagi. Maklumi dan pahamilah terlebih dahulu. Memahami bukan
berarti melazimkan atau melayakkan sifat pemarah, tetapi untuk
meminimalisasi peluang untuk saling merusak.
Duhai
Allah, ampuni dosa-dosa yang telah kami perbuat dengan lisan ini.
Ampuni jikalau kemarahan kami menzalimi dan menjadi bencana bagi
hamba-hamba-Mu. Ya Allah, karuniakan kepada kami kesanggupan menahan
lisan ini dari kemungkaran. kesanggupan menjaga amarah dan memaafkan
orang-orang yang menyakiti kami. Ya Allah, selamatkan umat dan bangsa
ini dari amarah yang membawa bala dan bencana.
Mengendalikan Diri
Musuh
terbesar yang harus selalu kita waspadai adalah diri kita sendiri. Kita
tak akan celaka kecuali oleh diri kita sendiri. Saat Salman Rushdi
menghujat Nabi SAW, tiba-tiba dunia Islam bergolak. Yang jarang membela
jadi ikut membela, begitu banyak orang yang bersemangat membela.
Akhirnya hujatan itu justru menjadi alat yang bisa menggugah umat.
Musuh-musuh
lahir itu tak begitu berbahaya, yang berbahaya adalah jika kita tak
sanggup mengendalikan diri. Saat perang Badar, 300 kaum Muslimin bisa
melawan hampir 1.000 orang. Perang yang sangat berat. Ketika perang
usai, Rasul SAW bersabda "Kita baru menghadapi jihad yang kecil dan kita
akan menghadapi jihad yang lebih besar lagi." Sahabat bertanya, "Rasul,
pertempuran seperti apakah itu?" Tenyata jihad yang lebih besar adalah
melawan hawa nafsu.
Kita sering lebih sibuk mengendalikan musuh lahir tanpa sibuk dengan musuh batin (tanpa sibuk mengendalikan diri sendiri), padahal mengendalikan diri seharusnya lebih diprioritaskan. Musuh lahir hanyalah bonus dari Allah, sebagai pemicu dan alat agar kita memiliki kesempatan berjihad, sedangkan bersungguh-sungguh mengendalikan diri adalah fardhu 'ain.
Kita sering lebih sibuk mengendalikan musuh lahir tanpa sibuk dengan musuh batin (tanpa sibuk mengendalikan diri sendiri), padahal mengendalikan diri seharusnya lebih diprioritaskan. Musuh lahir hanyalah bonus dari Allah, sebagai pemicu dan alat agar kita memiliki kesempatan berjihad, sedangkan bersungguh-sungguh mengendalikan diri adalah fardhu 'ain.
Peperangan
bukanlah masalah menang atau kalah. Ketika Imam Ali akan menusuk
lawannya, wajah beliau diludahinya, hingga beliau tak jadi membunuhnya.
Kemudian lawannya bertanya, "Ali, mengapa engkau tak membunuhku?"
Jawabnya, "Karena aku khawatir membunuhmu bukan karena Allah, tapi
karena ludah."
Ketika
dipukul oleh lawan, kita tak rugi, bahkan rasa sakit itu bisa
menggugurkan dosa. Jika kita membalas agar lawan berhenti dari berbuat
zalim, kita mendapat pahala. Tapi jika kita membalas lebih, maka kitalah
yang zalim.
Masalah
terbesar bagi kita adalah mengendalikan hawa nafsu karena ia ibarat
kuda. Hawa nafsu (syahwat) adalah bagian dari karunia Allah, akan jadi
amal saleh jika digunakan dengan niat dan cara yang benar, akan
menjerumuskan jika tak dikendalikan.
Allah
menciptakan setan sebagai musuh kita dan ia menjatuhkan kita melalui
hawa nafsu. Kalau kita tak pandai mengendalikannya, ibarat kuda binal
dengan setan sebagai pelatihnya. Jika kuda tunduk pada kita, insya Allah
kita akan lebih cepat mencapai tujuan maslahat dengan energi yang lebih
efisien.
Tapi kalau tak dikendalikan, akan seperti rodeo, membuat terombang-ambing, akhirnya terpelanting dan terinjak.
Mangapa
masih ada orang yang tak bisa mengendalikan diri di bulan Ramadhan
padahal setan saat itu dibelenggu? Karena setan itu pelatih nafsu, kalau
pelatihnya diikat, tetapi yang dilatihnya sudah terlatih, maka tetap
saja dia bermaksiat.
Jika
kita ingin tahu sampai sejauh mana pembinaan setan pada diri kita,
lihatlah kemampuan kita mengendalikan diri di bulan Ramadhan. Lalu,
mulai dari mana kita mengendalikan nafsu? mulailah dari menjaga amarah, pikiran, lisan, pandangan, keinginan lainnya.
Misalkan ketika marah, "Apakah kata-kata ini nasihat atau bagai pisau yang menghunjam dan mencabik-cabik?" Mulut baru boleh berkata bila telah melalui proses perhitungan terbaik, setidaknya jangan berkata kecuali bermanfaat.
Ketika
mata melihat sesuatu yang haram, jaga pandangan. Andai ingin merasakan
manisnya iman, tahanlah pandangan, akrabkan mata dengan Alquran atau
bacalah buku-buku yang bisa menambah ilmu. Janganlah mengobral mata
untuk melihat hal yang mengotori hati. Allah Maha Melihat bagaimana
gigihnya kita menahan pandangan.
Kalau
akan makan, "Halalkah ini? Haruskah saya makan makanan semahal ini?
Dengan uang sejumlah ini berapa orang yang bisa kita beri makan?" Jika
sering bertanya seperti itu, maka nikmat makanan akan berpindah, bukan
pada nikmat rasa, tapi pada nikmat syukur. Atau, "Kenapa saya harus
memakai sepatu dan baju yang mahal? Bisakah uangnya dipakai membeli buku
atau untuk kursus?"
Selalu
mulai dengan pertanyaan. Allah Mahatahu bagaimana kegigihan kita
meluruskan niat. Ketahuilah bahwa tabiat nafsu itu tak sebanding antara
kesenangannya dengan akibat dan risiko yang harus dipikulnya. Allah
merancang kenikmatan itu sedikit dan sebentar. Misalkan memakan makanan
haram, nikmatnya sebentar, tapi akibatnya amal tak diterima selama 40
hari dan kalau jadi daging diharamkan surga baginya.
Bandingkanlah,
kenikmatan sebentar dengan akibat tiada akhir yang dideritanya. Apa
lagi yang bisa kita miliki kalau kita sudah tak bisa mengendalikan diri.
Kalau kita tertipu dan diperbudak nafsu, lalu apa yang berharga pada
diri kita.
Tak
ada kemuliaan bagi orang-orang yang memperturutkan hawa nafsu yang tak
dijalan Allah. Kemuliaan hanyalah bagi orang-orang yang gigih
mengendalikan dan memelihara diri. Semoga Allah SWT menggolongkan kita
menjadi orang yang sanggup mengendalikan diri.
( KH Abdullah Gymnastiar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar