Di antara nikmat Allah yang paling besar yang dikaruniakan kepada
kita yaitu nikmat mendapatkan petunjuk kepada agama yang Allah ridhai
ini, agama Islam, yang merupakan satu-satunya agama yang utama dan lurus
di antara agama-agama yang lain. Agama Islam telah memberikan setiap
hak kepada sesuatu yang memang berhak menerimanya dan telah menempatkan
segala sesuatu pada tempatnya.
Dalam perkara ‘ubudiyah (peribadatan), hal tersebut
direalisasikan dengan beribadah hanya kepada Allah semata, tak ada
sekutu bagi-Nya. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّين
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama” (QS. Al Bayyinah : 5)
Adapun dalam perkara muamalah, agama Islam memerintahkan untuk
menunaikan hak kepada sesuatu yang memang berhak menerimanya. Ada hak
yang harus ditunaikan bagi diri sendiri, keluarga, kerabat, dan bagi
orang-orang yang bergaul dengan kita. Dalam urusan perjanjian antara
kita dengan orang lain, agama kita juga memerintahkan untuk menunaikan
janji dan melarang kita untuk berkhianat dan menyelisihi perjanjian
tersebut.
Agama kita ini, alhamdulillah, memerintahkan untuk memiliki akhlak
yang terpuji, baik secara umum atau terperinci, serta melarang melakukan
perbuatan yang buruk, baik secara umum maupun terperinci. Oleh karena
itu, barangsiapa yang benar-benar merenungkan aturan-aturan dalam agama
ini, maka ia akan mendapati Islam adalah satu-satunya agama yang baik
dan lurus pada semua tempat dan waktu. Islam merupakan pujian,
kehormatan, dan kemuliaan bagi pemeluknya serta akan menghantarkan
pemeluknya pada kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dengan agama Islam
pula pemeluknya akan menjadi lebih baik, jasmani maupun ruhani.
Barangsiapa yang meragukan hal tersebut hendaklah dia mentelaah kembali
generasi awal Islam ketika kaum muslimin saat itu merupakan generasi
Islam yang sebenarnya, lahir maupun batin. Kehidupan dunia dan
orang-orang yang berbuat tipu daya tidak mampu memperdayakan mereka dari
Allah.
Oleh karena itu, kita wajib bersyukur atas nikmat bisa memeluk agama
yang lurus ini dan mengokohkan nikmat yang agung ini dengan berbuat amal
sholih yang sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam baik secara lahir maupun batin, yang tersembunyi maupun yang tampak. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِن تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْماً غَيْرَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُونُوا أَمْثَالَكُمْ
“Dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan seperti kamu ini.” (QS. Muhammad : 38)
Adapun nikmat beragama Islam ini jika kita mau bersyukur, maka akan
terus menetap dalam diri kita bahkan terus bertambah. Sedangkan jika
kita ingkar, maka akan lenyap dan digantikan dengan syiar kekufuran,
bid’ah, dan kesesatan. Sebagaimana nikmat berupa keamanan jika tidak
disyukuri maka akan digantikan dengan ketakutan, nikmat berupa rizki
jika tidak disyukuri maka akan digantikan dengan kefakiran. Maka, nikmat
Islam lebih patut untuk disyukuri daripada hal-hal tersebut. Sampai di
sini kutipan dari tulisan Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin.
Allah Ta’ala juga berfirman,
لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah
(ni’mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni’mat-Ku), maka
sesungguhnya azab-Ku sangat pedih“.(QS. Ibrahim : 7)
Bentuk rasa syukur seorang hamba adalah berporos pada tiga pondasi
dasar berikut, dimana tidaklah seorang hamba itu dikatakan bersyukur
kecuali dengan mengumpulkan ketiga hal tersebut dalam dirinya. Pertama, mengakui nikmat tersebut dalam hatinya. Kedua, mengungkapkan atau manampakkan dalam lisan maupun anggota badannya. Ketiga,
menggunakan nikmat tersebut untuk melakukan ketaatan kepada Allah. Oleh
karena itu syukur dapat berupa amalan hati, lisan, maupun anggota
badan. Amalan hati yakni dengan mengakui nikmat tersebut berasal
dari-Nya dan mencintai Sang Pemberi nikmat, amalan lisan yaitu dengan
memuji dan menyanjung Allah dengan penuh rasa pengagungan, dan amalan
anggota badan yaitu dengan mempergunakannya untuk melakukan ketaatan
kepada Allah dan menjaganya dari melakukan kemaksiyatan.
Hukum Keluarnya Wanita dari Dalam Rumahnya
Pada umumnya, setelah lulus dari kuliah, maka seorang lulusan
perguruan tinggi akan berlomba-lomba mencari pekerjaan baik pada sektor
swasta ataupun sebagai pegawai negeri sipil. Sebelum jauh melangkah,
hendaknya seorang muslimah memperhatikan langkahnya agar selamat di
dunia dan akhirat. Agama Islam tidaklah melarang seorang muslimah untuk
mencari rizki (menghasilkan uang), akan tetapi segala sesuatunya harus
dipandang dalam bingkai syariat.
Hukum asal seorang wanita adalah tetap berada di rumahnya. Sebagaimana dalam firman Allah,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنّ
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu” (QS. Al Ahzab : 33)
Imam Ibnu Katsir berkata, “Yaitu, dan istiqamahlah di rumah-rumah
kalian dan janganlah kalian keluar tanpa ada hajat (keperluan).”
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata, “Tetaplah kalian di dalam rumah kalian karena hal tersebut lebih selamat dan terjaga”
Perintah Allah kepada para wanita untuk tetap berada di rumahnya
merupakan suatu ibadah yang sangat agung yang mengandung banyak hikmah.
Karena makna ibadah mencakup seluruh amalan yang dicintai dan diridhai
Allah. Dan tidaklah Allah memerintahkan suatu amalan kecuali Allah
mencintai dan meridhai amalan tersebut.
Hal ini sebagaimana makna ibadah yang telah didefinisikan oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sebagai sebuah kata yang mencakup seluruh
bentuk amalan yang dicintai dan diridhai Allah baik berupa perkataan dan
pebuatan, yang tampak ataupun tidak tampak. Dengan perkataan lain,
ibadah yaitu mematuhi segala perintah Allah dan menjauhi segala
larangan-Nya .
Dengan menetapnya seorang wanita dalam rumahnya maka ia akan dapat
mengerjakan berbagai keperluan rumah tangga, memenuhi hak-hak suaminya,
mendidik anak-anak mereka, serta melakukan berbagai amal kebajikan. Jika
seorang wanita sering meninggalkan rumahnya, niscaya ada
kewajiban-kewajiban yang ia tinggalkan sehingga kerusakan pun
merajalela. Betapa banyak kita dapati pada masa sekarang ini kasus
perzinaan, pembunuhan, dan kasus kriminal lainnya yang salah satu
penyebabnya adalah istri atau ibu meninggalkan keluarga mereka untuk
bekerja di luar daerah sehingga hak-hak suami atau anak-anak mereka
menjadi terabaikan.
Meski demikian, Allah telah memberikan keringanan kepada para wanita
untuk keluar rumah apabila ada keperluan yang mendesak. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha,
“Pada suatu malam Saudah bintu Zam’ah keluar rumah (untuk suatu
keperluan). Umar melihatnya dan mengenalinya. Dia pun berkata, “Demi
Allah, sesungguhnya engkau, wahai Saudah, tidaklah tersembunyi dari
kami”. Maka Saudah pun kembali kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan menceritakan kejadian tersebut pada beliau. Beliau sedang berada di
rumahku untuk makan malam dan saat itu tangan beliau sedang memegang
segelas susu. Maka, turunlah firman Allah yang meringankan permasalahan
tersebut. Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya Allah telah memberi ijin kepada kalian untuk keluar rumah demi menunaikan keperluan kalian’” (HR. Bukhari)
Perhatikanlah, wahai saudariku, bukankah aturan bahwasanya seorang
wanita hendaknya tetap di dalam rumahnya adalah aturan yang justru
memuliakan para wanita. Wanita tidaklah diberi beban untuk mencari
nafkah sebagaimana seorang bapak atau ayah. Salah satu hikmahnya yaitu
karena wanita memiliki kekuatan fisik yang berbeda dengan laki-laki.
Setiap bulannya wanita juga harus mengalami haid. Ketika melahirkan,
mengalami nifas dan saat menyusui pun seorang wanita akan mengalami
kelemahan yang tidak dialami laki-laki. Secara fitrahnya, anak juga akan
lebih aman dan nyaman ketika dekat dengan ibunya. Maka tidak ada tempat
yang paling baik dan paling aman bagi seorang wanita kecuali tetap
berada di rumahnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya wanita itu adalah aurat. Tatkala ia keluar rumah maka setan akan menghias-hiasinya” (HR. Tirmidzi dan dinilai shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ hadits no.6690).
Sebagaimana telah dijelaskan pada tulisan di atas, seorang muslimah
diperkenankan keluar dari rumahnya apabila ada keperluan yang mendesak.
Meski demikian, hendaknya ia tetap memperhatikan adab-adab berikut
tatkala akan keluar rumah.
- Mengenakan hijab yang syar’i.
- Tidak menggunakan wewangian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang wanita yang menggunakan wewangian lalu melewati sekumpulan orang, maka wanita tersebut begini dan begini – yaitu berbuat zina” (HR. Tirmidzi dan dia berkata. “Hadits hasan shahih)
- Merendahkan suara langkah kakinya agar suara sandalnya tidak terdengar. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنّ“Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” (QS. An Nur : 31)
- Jika wanita tersebut berjalan bersama temannya, hendaklah mereka tidak saling mengobrol jika ada lelaki di dekatnya. Hal ini bukan karena suara wanita adalah aurat, akan tetapi terkadang jika seorang lelaki mendengar suara wanita, hal itu akan menimbulkan godaan.
- Harus meminta ijin pada suaminya jika ia telah bersuami. Jika belum, maka harus seijin walinya.
- Jika akan mengadakan perjalanan yang sudah tergolong safar, maka harus disertai mahram. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Imam Bukhari dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, “Wanita tidak boleh melakukan safar kecuali disertai mahramnya“. Hadits ini juga berlaku umum untuk safar menggunakan pesawat atau selainnya.
- Tidak berdesakan dengan laki-laki meski ketika thawaf dan sa’i. Jika memungkinkan untuk berjalan tanpa berdesakan maka hendaknya ia lakukan.
- Menghiasi dirinya dengan malu.
- Menundukkan pandangan.
- Tidak menanggalkan pakaian luarnya untuk tujuan bersolek kecuali di dalam rumah suaminya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wanita manapun yang menanggalkan pakaian selain di dalam rumah suaminya, terkoyaklah apa yang ada di antaranya dengan Allah” (Hadits shahih dari hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha di dalam Musnad Imam Ahmad)
Mau Kemana Setelah Lulus Kuliah?
Sejatinya, ada banyak aktivitas yang bisa dilakukan seorang wanita
selepas dari bangku kuliah. Bagi yang menghendaki bekerja, maka yang
paling utama dipilih adalah pekerjaan yang dapat dilakukan di rumah
dengan tanpa melalaikan kewajiban utama sebagai seorang istri atau ibu.
Beberapa pekerjaan yang dapat dilakukan dari dalam rumah, antara lain:
- Penjahit pakaian wanita dan anak-anak (konveksi).
- Penulis buku atau majalah.
- Usaha jual beli seperti membuka warung, toko, atau toko on-line.
- Produsen berbagai kerajinan.
- Jasa seperti usaha laundry, fotokopi, pengetikan, dll.
- Katering atau rumah makan.
- Bimbingan belajar.
- Praktek medis (misal: bidan, dokter, dokter gigi, dan lain sebagainya).
- Salon kecantikan khusus muslimah.
- Dan lain sebagainya.
Adapun jika terpaksa bekerja di luar rumah, maka seorang muslimah
hendaknya memilih pekerjaan yang tidak menyimpang dari jalur syariat
seperti :
- Pengajar sekolah untuk anak-anak dan wanita.
- Tenaga medis khusus pasien anak-anak dan wanita.
- Karyawan perusahaan yang tidak bercampur antara lelaki dengan wanita.
- Dan lain sebagainya.
Yang terpenting dari itu semua adalah membekali diri dengan ilmu
syar’i dan wawasan serta keterampilan terkait dunia yang akan
digelutinya tersebut. Seorang wanita yang akan menikah tentu saja harus
membekali diri dengan ilmu yang terkait dengan hukum-hukum seputar
pernikahan, hak-hak suami, pendidikan anak, dan lain sebagainya. Begitu
juga dengan wanita yang akan bekerja. Ia harus mengetahui lapangan
pekerjaan apa saja yang diperbolehkan syariat, syarat-syarat apa saja
yang harus dipenuhinya jika ia akan terjun dalam dunia kerja,
adab-adabnya, dan sebagainya. Sebagai contoh, seorang wanita yang akan
menekuni usaha jual beli. Selain harus mengetahui seluk beluk dunia yang
akan digelutinya, dia juga harus memahami fikih jual beli agar usahanya
tidak melanggar aturan syariat.
Penutup
Hendaknya seorang wanita yang akan atau sudah lulus kuliah tidak
gamang dalam menatap masa depannya. Kesuksesan tidaklah diukur dengan
banyaknya harta, karier yang bagus, atau hal-hal lain yang bersifat
keduniawian. Akan tetapi, kesuksesan sejati itu diukur dari seberapa
banyak seseorang tersebut dapat mengamalkan berbagai aturan agama yaitu
kesuksesan yang dapat menghantarkan seseorang pada kenikmatan abadi di
surga.
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ ذَلِكَ الْفَوْزُ الْكَبِيرُ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal
yang shalih bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai;
itulah keberuntungan yang besar.” (QS. Al Buruuj: 11)
Yakinlah, wahai saudariku, bahwasanya dengan ketakwaan kita kepada
Allah, niscaya Allah akan memberikan jalan keluar dan memudahkan segala
urusan kita.
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجاً
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.” (QS. Ath Thalaq: 2)
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً
“Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (QS. Ath Thalaq: 4)
الحمد لله الذي بنعمته تتم الصالحات
Referensi
DR. ‘Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alusy Syaikh, Lubabut Tafsir min Ibni Katsir (Terjemah), Jilid 6, cet.III, Pustaka Imam Syafii, Bogor, th. 2006 M.
Ibnu Rajab, Ibnul Qayyim dan Abu Hamid Al Ghazali, Tazkiyatun Nufus wa Tarbiyatuha kama Yuqarriruhu Ulama As Salaf, dikumpulkan dan disusun ulang oleh Dr. Ahmad Farid, Darul Qalam, Beirut, Libanon.
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah Ar Rajihi, Syarh Al ‘Ubudiyyah li Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah, cet.I, Darul Fadhilah, Riyadh, th. 1420 H.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, Taisir Al Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan, cet.I, Dar Ibni Hazm, Beirut, Libanon, th. 1424 H.
Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin, Fiqh Mar’ah Muslimah, dikumpulkan dan disusun ulang oleh Sholah As Sa’id, Darul ‘Aqidah, Iskandariyah, Mesir, th. 1428 H.
Ummu Abdillah bintu Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i, Nashihati lin Nisa’, Darul Atsar, Shan’a, Yaman, th. 1426 H.
Penulis ringkas dari mukadimah Nashaih Haula At Tabarruj was Sufur wal Ikhtilath dalam Fiqh Mar’ah Muslimah hal. 599-601
Tidak ada komentar:
Posting Komentar